M A J E L I S L I D A H B E R D U R I
Peluncuran Single PULANG KAMPUNG dan Catatan Pengantarnya 1 April 2023
Di tengah musim mudik nasional tahun ini, Majelis Lidah Berduri merilis single baru berjudul Pulang Kampung (Trauma Irama Record, 2023). Lagu ini untuk menemani kalian, baik yang sedang atau akan maupun yang gagal atau batal pulang kampung. Berikut catatan pengantarnya.
---
Pulang kampung selalu memanggil-manggil kita.
Ia memanggil-manggil bahkan (dan mungkin terutama) ketika kita tak punya kampung, tak punya pulang. Majelis Lidah Berduri bertemu dengan puisi Gunawan Maryanto berjudul Pulang Kampung sudah lama, sebelum buku Perasaan-Perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya (Omahsore, 2008) –tempat puisi itu tinggal– diumumkan. Beberapa orang beruntung (atau malah malang) pernah mendengar versi demo sederhana yang beredar sebagai bisik bisik sejak 2013 lalu. Awal tahun 2022 kemarin, kami memainkannya untuk pertama kali, khusus demi mengenang kepergian penyairnya.
Pulang Kampung tak mau berhenti di sana, terus memanggil manggil, semendesak ia memanggil penyairnya dikali pertama, lalu kedua, ketiga. Dengan gigih dan tekun, Gunawan menangkapnya –ia licin– , menandai apa-apa yang disentuhnya dan menjadi berkarat: ruang, benda-benda, kata-kata, waktu yang dilintasinya, kita. Menyentuhnya, kami tak lantas bisa berlalu. Ia memburu kemana-mana, sampai kami tak lagi bisa menghindar dan terpaksa menyanyikannya pelan-pelan.
Wajahnya selalu dua, mengaku pulang sekalipun selalu berdiri di kaki-kaki kepergian. Selalu pula ia senyap dan sendirian, berlindung di balik gelombang mudik yang bandang, menyusupi deras yang bikin lampu dan rambu lalu lintas pamit pingsan. Bahkan ketika akhirnya ia menghilang bersama arus balik, ia meninggalkan lengang menganga, ruang tengah dan jalan raya yang tiba-tiba jeda. Tak ada benda dan kata yang sepenuhnya terjungkal tapi jeda itu mengingatkan: dada kita yang bolong. Selalu lowong.
Nantinya ia akan kembali, mengulang semua ini sekali lagi. Selambat-lambatnya, tahun depan. Kita –jeda dan dada dan lengang– akan diingatkan lagi. Jika begini caranya, kita pastilah cepat tua.
Tapi sejujurnya kita tak ingin ia berhenti memanggil. Dan diam-diam kita ingin, setidaknya sekali saja, sungguh-sungguh sepenuhnya terpanggil.
Sekalipun kita bangsat.
Bantul, 1 April 2023
NB: Lagunya bisa di dengar di sini. Video pendampingnya di sini. Tak lupa, hati hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan.
Pulang Kampung
Syair : Gunawan Maryanto
Musik dan Aransemen: Majelis Lidah Berduri
Gitar : Yennu Ariendra dan Yossy Herman Susilo
Piano dan Aransemen Brass : Paulus Neo Prasetyo
Bas : Richardus Ardita
Drum : Eunike Theresia Siahaan
Perkusi: Danis Wisnu Nugraha Widiasmara
Vokal : Ugoran Prasad dan Yossy Herman Susilo
Musisi tamu
Horn Perancis : Adi Kurniawan
Trompet : Pradipta Nandi Ardana
Trombon : Hikam Bisalam
Pengarah musik: Majelis Lidah Berduri
Penata suara dan master: Yossy Herman Susilo
Penata rekam: R. Bakhrudin Rosyd
Asisten penata rekam: Yabes Yuniawan S.
Teknisi studio : Bendol Rwonsix dan Budiyanto
Direkam di Studio Kua Etnika, Yogyakarta, Februari 2023.
©TRAUMA IRAMA RECORD 2023
Video musik:
Konsep : ME.L.BI, Krisna E. Putranto, dan Swandi Ranadila
Tim Produksi : Krisna E. Putranto, Swandi Ranadila,
Doni Maulistya, Aditya Kresna, Beni Dreadlocks,
Stiven Andhica Chaniago, dan Hengga Tiyasa
Penampil : Bendol Rwonsix dan Ragnala Minerva Divija
Penyelia teks : Ojie Adrianto
Desain cover: Dimas Zaki Firdausi
Foto : Swandi Ranadila
Tentang Kenapa MAJELIS LIDAH BERDURI (Surat dari Makassar) 10 November 2022
Surat dari Makassar
10 November 2022
Salam hangat,
Tanggal 10 November 2022 ini adalah hari terakhir kami muncul di panggung pertunjukan dengan mengusung nama Melancholic Bitch. (Kami sangat berbahagia bahwa pentas terakhir dengan nama ini, bisa kami berlangsungkan di kota bersejarah ini). Tidak, kami tidak sedang pamit pensiun atau bubar, kami sedang “pindah”. Ijinkan kami mengutarakan alasannya di surat ini; maaf jika surat ini berpanjang-panjang, meminta sabar terlalu lebar.
Sebelum nama yang kami (kala itu, Yossy Herman Susilo dan saya) pakai dan melekat sepanjang 20 tahun ini, proyek kerja ini kami namai On Genealogy of Melancholia. Teman-teman di sekitar kami mengeluh karena nama ini menekuk lidah kami di sudut-sudut yang tak jenak. Kami, untuk berapa lama, bergeming.
Suatu malam, sahabat saya, rekanan di suatu kelompok pembaca bernama SindikatGagap ApocalypseNow!, setengah bercanda menyoal nama proyek tersebut.
“What’s the name again? On the genealogy of what? Melancholia?”
Saya senyam-senyum sebelum kemudian dia bilang, “Uh, you’re so melancholic bitch.” Saya terkekeh karena penamaan ini terasa menohok, sekaligus tepat. Sahabat saya ini adalah salah satu orang paling tajam yang pernah saya kenal —nyalang menatap dunia yang tak memberikan ruang bernapas sepatutnya, kala itu dan hingga hari ini. Setengah-bercanda artinya ia setengah serius, dan saya menekuninya dengan sungguh-sungguh. Frasa itu, saya kenakan di bahu saya sebagai suatu tanda penasbihan, penerimaan.
Persis sebelum panggung festival musik elektronik, Mencari Harmoni #2, nama proyek itu berganti menjadi nama yang sahabat saya, tanpa sengaja, berikan. Nama Melancholic Bitch melekat sebagai penganggit 3 buah album penuh (Anamnesis, Balada Joni dan Susi, dan NKKBS Bagian Pertama), di samping koleksi, kompilasi, dan proyek-kerja yang beragam. Sampai detik ini, ia bilang ia merasa tak pernah mengatakannya, sungguhpun saya kira, ia mengenali tanda-tangan pendekatannya di nama itu.
Karena datang darinya, kami tak pernah merasa nama tersebut sepenuhnya berkonotasi negatif. Ia sindiran sayang yang pantas kami gunakan sebagai senjata. Nama ini bukan tanpa resiko: sejak awal acara-acara pensi kesulitan mengajak kami, beberapa media besar urung menurunkan liputannya sebab nama ini. Karena awalnya pendengar kami datang dari lingkungan yang masih bisa kami kenali, kami bersiap untuk terus-menerus berusaha menjelaskan nama tersebut, bahkan dalam percakapan orang perorang. Itu nama untuk menandai betapa terlalu penuh keluhnya diri kami. Itu nama yang membuat kami tak terlalu sok-penting dengan perasaan dan pikiran kami, juga atas bagaimana kami mengartikulasikan perasaan dan pikiran tersebut. Di masa di mana band rock dinamai untuk terdengar macho dan atau sangar, kami merasa nyaman untuk memilih jalan ini. Kami bergeming bahkan ketika seorang musisi yang kami kagumi merasa singkatan melbi —yang kami adopsi dari panggilan segelintir teman-teman yang mendengar kami kala itu— terdengar genit. Kami pikir, memanglah kami ini sepenuhnya genit. Demikianlah, nama itu membuat kami bisa mengejek diri dengan blak-blakan dan mudah, sehingga kami bisa terus bergerak ke titik berikutnya pula dengan mudahnya.
Kini, persis 20 tahun sejak kami memakai nama itu, kami terus berubah. Apa yang semula suatu proyek dua orang berubah menjadi sekumpulan, mula-mula mirip suatu band (Teguh Hari, Yennu Ariendra, (Alm.) Anton W.A, Septian Dwirima, Richardus Ardita, Pierna Harris), lama-lama terus melebar (Nadya Hatta, Danish Wisnu, Uya Cipriano), sebelum semakin menjadi gerombolan (Paulus Neo, Arsita Iswardhani, Ayu Saraswati) yang menari-nari disangga punggung kerumunan di belakang panggung (Yopie Irawan, Ojie Adrianto, Dimas Zaki, Daruaji Wicaksono, Bendol Rwonsix). Nama itu kadang jadi terasa begitu jauh dalam mencerminkan bagaimana kami bekerja selama ini, saat ini; gugup untuk bisa menjelaskan bagaimana kami membangun hubungan antar satu sama lain, apalagi antar kita.
20 tahun sejak kami memakai nama itu, dunia pun terus berubah. Kami semakin tak bisa membangun dialog secara orang-perorang dengan setiap pendengar nama ini, menjelaskan alasannya secara telaten, agar seluruh dimensinya terbaca. Sejarah pula menunjukkan, ada kata-kata yang semakin tak punya tempat sebab pemakaiannya yang terlanjur serampang; kata-kata itu kadung menjahati, melukai, baik itu kemarin, hari ini, atau besok. Niat sebaik apapun jadi tak penting ketika di banyak tempat lain, ia kadung tak mungkin hadir baik-baik.
Kami kerap membicarakan perihal pergantian nama ini sepanjang 10 tahun terakhir, sempat memikirkannya sebelum meluncurkan album ketiga kami. Sayangnya, pada saat itu, kami terlalu gampang menyerah dengan kepercayaan (kepasrahan?) bahwa kami cukup bisa mengelola percakapan dan penafsiran atas nama tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, ini tak lagi soal seberapa luas kalian, kekerabatan kita. Karena karya-karya kami tersebar di berbagai media, selalu ada kemungkinan bahwa seseorang di tempat yang belum kami capai, dari lapis generasi yang terdepan, bisa tiba-tiba menemukan kami dan kami tak punya banyak daya untuk memastikan bahwa penafsiran mereka bisa kami temani. Dunia semakin lebar, daun kelor kami segitu-gitu saja.
Banyak perubahan yang sudah lama harus, tapi terjadi demikian terlambat. Tapi dua latar dan alasan di atas semakin tak bisa ditawar sehingga terlambat pun masih jauh lebih baik daripada tidak.
Tidak, kami tidak sedang mengumumkan sekedar “nama pengganti”; Melancholic Bitch akan tetap ada, tetap menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dari kerja kami, tapi waktu mendorong kami untuk menyesuaikan wadah kami agar lebih bisa menaungi kami hari ini, kita hari esok.
Wadah itu, kami sebut: MAJELIS LIDAH BERDURI.
Kami memilih M A J E L I S —suatu model ikatan musyawarah yang sudah ada sejak jaman pra-Islam— selain sebab kami selalu gagal jadi band, juga sebab ini paling dekat menggambarkan situasi kerja kami yang sesungguhnya. Ruang kerja kami dibangun oleh yang jamak, beberapa ada yang berdiam dan menetap, ada pula yang mampir selintasan namun meninggalkan jejak mendalam: musisi dan atau pekerja seni ragam disiplin, semuanya semoga bisa duduk sama rata, berdiri sama miring.
Mengenai bagian L I D A H B E R D U R I, semoga kalian sepakat jika kami tak perlu berpanjang-panjang menjelaskan artinya: semoga ia menjadi mantra yang bisa kami tubuhkan setajamnya, selembutnya.
Sebutan ini berlaku efektif tanggal 11 November 2022.
Kalian tentu saja masih bisa menyingkat nama wadah ini sebagai melbi; singkatan ini sejak awal datang dari kalian, disirami oleh kalian, sehingga kami tak mungkin berani seenaknya ganti.
Agar wadah ini bisa benar-benar kami tubuhkan, kami butuh persetujuan dan bantuan kalian. Proses pergantian akan berjalan perlahan sepanjang tahun ke depan: nama panggung kami bisa saja bertukar-tukar antara Melbi atau Majelis Lidah Berduri; kami yakin kalian tidak gampang kebingungan. Album keempat kami, Hujan Orang Mati, akan dirilis di bawah sebutan Majelis Lidah Berduri. Nama kami sebelumnya, tidak akan hilang atau dihilangkan. Album fisik kami yang diproduksi sebelum tanggal surat ini, jika di publikasi ulang, akan tetap mempertahakan seluruh atau sebagian besar art-work aslinya, termasuk nama kami saat itu; sebab sejarah penting untuk dirawat. Demikian juga versi vinyl baru dari album-album tersebut. Adapun kanal-kanal kami di media daring (Spotify, Youtube, dll), perlahan-lahan akan menggunakan nama wadah yang sekarang. Katalog merchandise kami ke depan juga akan mulai menggunakan sebutan wadah ini; di beberapa kasus akan bersandingan dengan nama sebelumnya. Surat ini diantar di kanal baru kami (www.majelislidahberduri.id) sementara akun twitter kami tetap menggunakan nama sebelumnya (@simelbi). Sejak pagi hari ini, akun YouTube, Facebook, dan Instagram sudah pindah ke alamat baru (Majelis Lidah Berduri dan @majelislidahberduri).
Seluruh proses ini, sekali lagi, akan berjalan berangsur-angsur, seturut partisipasi kalian. Kami percaya, kita —suatu kekerabatan kecil nan intim—ingin terus tumbuh dan pantang khawatir dengan perubahan. Apapun namanya, percayalah, kami akan terus mengeluhkan silsilah dan keluh-kesah duka-lara kita dengan demikian genitnya. Kita akan terus menari-nari bersama demikian genitnya.
Demikianlah, terima kasih banyak sudah mau bersabar membaca kabar ini.
Salam hangat dan penuh kasih,
Ugoran Prasad
anggota Majelis Lidah Berduri